Usaha Percetakan
"SITUASI ekonomi memang sedang sulit. Banyak perusahaan tumbang karena tidak kuat menghadapi situasi krisis yang berkepanjangan ini. Namun, situasi yang demikian jangan dijadikan alasan buat majikan untuk lebih menekan karyawan. Pakailah kesempatan itu untuk menggalang kerja sama agar bisa menjangkau sukses."
DEMIKIAN dikatakan Lely Martiwi (50), pemilik perusahaan percetakan Ref Graphika di kawasan Menteng Wadas Timur, Manggarai, Jakarta Selatan.
Menurut Lely, sejak pertama dia melakukan usaha sendiri pada tahun 1980, sudah banyak sekali kendala yang dia hadapi. Namun, kendala-kendala itu tidak membuat usahanya mandek, tetapi justru maju ke depan. "Kuncinya kerja sama dengan karyawan. Sebagai bos, saya juga harus memperlihatkan bahwa saya berusaha mengatasi persoalan yang dihadapi, bukan duduk enak- enakan," kata Lely membuka rahasia bisnisnya.
Salah satu cara untuk bisa menjalin kerja sama yang baik dengan karyawan adalah adanya keterbukaan. "Tahun 1997- 1998 adalah puncak masa sulit saya. Waktu itu order sangat sedikit sehingga saya terpaksa mengambil uang tabungan demi berputarnya roda perusahaan. Kondisi itu sudah tidak sehat, tetapi saya tidak mau main potong gaji atau memecat karyawan. Saya katakan kepada karyawan apa adanya, mereka bisa mengerti," ungkap Lely.
Waktu itu Lely tetap membayar gaji karyawan, tetapi agak terlambat dari jadwal biasa. Lely minta maaf kepada karyawan karena keterlambatan itu. Dan, karena telah ada keterbukaan, karyawan bisa menerima. Karyawan pun jadi terdorong untuk bekerja lebih keras lagi. Mereka aktif mencari pelanggan baru dan mengerjakan tugas dengan baik.
Untuk memberi contoh kepada karyawan, Lely pun tidak segan-segan mencari tambahan penghasilan di tempat lain. "Semua yang menghasilkan uang, saya lakukan. Bahkan, saya pernah berjualan lontong sayur di Monas selama tiga bulan. Lumayan sehari dapat Rp 100.000 bersih," katanya.
Sebenarnya ketika usaha tidak berjalan lancar, Lely bisa saja menjual mesin cetaknya. Waktu itu mesin yang dia beli dengan harga Rp 700 juta sudah ditawar orang Rp 1,5 milyar. Ada dua mesin yang ingin dibeli orang. "Kalau saya mau, saya bisa menjual kedua mesin itu, terus hidup dari deposito. Tetapi, karyawan saya mau dikemanakan? Mereka juga memiliki keluarga yang butuh makan," kata Lely.
Usaha sampingan berjualan lontong sayur itu ternyata tidak terlalu lama dilakukan Lely. Setelah tiga bulan, order cetakan mulai ramai. Lely pun bisa berkonsentrasi lagi pada percetakannya.
SEJAK masih pacaran dengan Sukirman (53), yang sekarang menjadi suaminya, Lely sudah bercita-cita ingin memiliki perusahaan keluarga. Dia merasa gaji yang diperoleh dari tempat kerja tidak akan mencukupi kebutuhan rumah tangga.
"Kalau kami mempunyai pemasukan lain selain dari gaji, tentu kami bisa memberikan pendidikan dan hidup lebih ber- kualitas kepada anak-anak kami kelak," demikian alasan Lely yang sempat bekerja sebagai pembaca pengumuman di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Usaha pertama yang dilakukan Lely dan Sukirman adalah membuka usaha jasa pengetikan skripsi. Saat tahun 1980 itu, mereka menyewa sebuah kios di Jalan Guntur. Modalnya hanya satu buah mesin ketik dan mesin stensil untuk memperbanyak skripsi.
"Saya juga tidak bisa menjelaskan kenapa kami memilih usaha tersebut, mengingat kami tidak mempunyai latar belakang di bidang itu. Hanya yang kami melihat, itu satu-satunya usaha yang bisa kami lakukan," ujar ibu dua anak perempuan ini.
Lima belas hari pertama membuka usaha, tidak ada satu orang pun yang memakai jasa mereka. Lely mengaku sempat khawatir juga. Namun, akhirnya satu per satu konsumen mulai datang. Uang pun mulai bisa terkumpul.
"Begitu tabungan cukup, saya langsung membeli mesin cetak ’toko’ dan mesin cetak ’tinggi’ untuk mencetak brosur dan formulir satu warna, yang kalau dilihat saat ini terlihat sederhana. Kami memutuskan membuka usaha percetakan selain jasa pengetikan skripsi," kenang Lely.
Membuat usaha percetakan ternyata tidak semudah yang diperkirakan. Harga mesin cetak yang mahal membuat Lely harus berpikir keras untuk mengadakannya. "Beberapa kali kami mengajukan kredit ke bank, tetapi tidak berhasil. Bank selalu menolak proposal kami, entah kenapa," kata Lely.
Kesempatan baru terbuka ketika Lely bergabung di organisasi Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia (Iwapi). Di dalam organisasi itu Lely sering mendapat kesempatan bertemu dengan direktur-direktur bank, di mana dia bisa mengemukakan masalahnya secara langsung.
"Dengan mudah saya sampaikan pertanyaan saya. Ternyata kelemahan usaha kecil dan menengah adalah tidak mempunyai agunan untuk meminjam di bank. Saya mempunyai tanah, tetapi tanah saya tidak ada sertifikatnya. Setelah saya kemukakan persoalan saya, direktur bank itu mau membantu karena banknya sering berhubungan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tanpa berbelit-belit, tetapi dengan cara wajar, saya bisa mensertifikatkan tanah saya," kata Lely.
Begitu sertifikasi selesai, Lely bisa langsung meminjam ke bank karena sudah memiliki agunan. "Saya mendapat pinjaman Rp 200 juta. Langsung saya belikan mesin cetak baru. Ternyata berorganisasi membuat usaha saya semakin maju," tukas Lely yang sekarang sangat aktif di berbagai organisasi ini.
SEKARANG Lely bisa dibilang sukses. Dengan order percetakan yang nyaris tanpa henti ini, Lely bisa menghidupi 50 orang karyawannya dan membuka percetakannya dari pukul 08.00-24.00. "Kalau pekerjaan sedang banyak, percetakan malah buka 24 jam," tukas Lely.
Untuk karyawannya, Lely juga memberi kertas sisa untuk dijual. Uangnya dijadikan kas koperasi simpan pinjam karyawan. "Sekarang sudah terkumpul lebih dari Rp 100 juta," tukas Lely.
Seperti bisnis lainnya, bisnis percetakan juga memiliki masa ramai dan masa sepi. Biasanya order percetakan ramai pada bulan Mei-Juli dan Oktober- Desember. Bulan Mei-Juli adalah masa banyak perusahaan membuat laporan tahunan, sedangkan pada akhir tahun banyak perusahaan membuat kalender.
Tahun 2002 lalu, Lely mendapat pesanan mencetak 60.000 kalender dari sebuah BUMN besar. Lely sama sekali tidak menyangka bisa memenangkan tender itu karena sebelumnya Lely sempat diteror pihak lain yang ikut tender juga.
"Katanya saya akan diberi uang Rp 10 juta jika saya mau mundur dari tender itu. Tetapi, saya pikir, berapa harga yang akan dipakai orang itu ke BUMN jika ada 15 orang peser- ta tender lainnya. Sudah pasti harganya jauh lebih mahal. Saya tolak saja. Benar juga, saya yang menang. Harga saya jauh lebih murah karena saya tidak perlu menyuap pihak lain," tandas Lely yang mengaku pantang menolak order walau hanya pesanan kartu nama sekali pun. (ARN)